HIDUP MAHASISWA!
Baru-baru ini ada kasus pelecehan seksual secara verbal melalui media sosial yang dilakukan oleh oknum fisioterapis. Hal ini sempat menggemparkan dunia fisioterapi karena korban sempat mempublikasikan identitas pelaku, termasuk profesinya, yakni fisioterapi. Agar dapat terselesaikan dengan baik, maka kasus ini diselidiki lebih lanjut oleh beberapa sejawat fisioterapi dengan melakukan klarifikasi kepada pelaku dan korban. Hasil dari penyelidikan tersebut, didapatkan fakta bahwa pelaku ternyata memiliki masalah kejiwaan dan hal ini telah diverifikasi oleh Rumah Sakit tempat pelaku diperiksa. Karena kondisi tersebut, pelaku tidak dapat ditindaklanjuti ke ranah hukum dan dijatuhi sanksi. Akhirnya masalah ini dapat diselesaikan dengan adanya permintaan maaf dari keluarga pelaku kepada korban.
Melihat permasalahan tersebut, yang muncul dibenak kita adalah bagaimanakah peraturan mengenai kesalahan tenaga fisioterapis dalam berpraktek, baik dalam hukum nasional maupun hukum organisasi?
Untuk memperjelas hal tersebut, yuk kita bahas lebih lanjut.
Sebagai tenaga kesehatan, fisioterapi tidak dapat bertindak/bersikap seenaknya dalam memberikan pelayanan. Perilaku tersebut juga telah diatur dalam beberapa peraturan yang berlaku, baik yang dikeluarkan oleh PERFI, Pemerintah, maupun tempat fisioterapis tersebut bekerja. Jika tenaga fisioterapis melakukan kesalahan dalam pelayanan, ia dapat diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Sebagai naungan para fisioterapis di Indonesia, PERFI juga dapat memberikan perlindungan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Namun, merujuk pada UU Nakes, setiap oknum fisioterapis hanya dapat dilindungi oleh PERFI apabila yang bersangkutan menjalankan profesinya sesuai dengan SOP, Standar Profesi, dan Hospital by Law (peraturan internal rumah sakit)/peraturan tempat fisioterapis tersebut bekerja serta beberapa ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kode Etik Fisioterapi Indonesia. Walaupun begitu, organisasi profesi, dalam hal ini PERFI, juga tetap memiliki kewajiban untuk mendampingi anggotanya dalam proses hukum yang berjalan, apapun permasalahannya.
Lalu bagaimana jika yang melakukan kesalahan dalam pelayanan fisioterapi adalah mahasiswa fisioterapi? Apakah akan mendapatkan perlindungan juga dari PERFI?
Nah, jika pelaku masih berstatus sebagai mahasiswa, yang memiliki peran lebih dominan adalah Perguruan Tinggi, orang tua, dan mahasiswa itu sendiri (karena berdasarkan usianya sudah dapat dijatuhi hukuman). Organisasi profesi tidak memiliki kewajiban untuk melindungi pelaku karena ia belum menjadi fisioterapis sebagaimana yang tertera dalam PMK No. 80/2013 & PMK No. 65/2015. Oleh karena itu mahasiswa tersebut belum bisa dikatakan sebagai anggota PERFI.
Lalu cara apa saja sih yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus pelecehan seksual oleh tenaga fisioterapis yang terjadi kemarin?
Untuk menyelesaikan kasus tersebut, ada dua cara yang dapat dilakukan.
- Jalan mediasi. Penyelesaiannya dilakukan secara kekeluargaan dengan melakukan klarifikasi & penyelesaian anta dua belah pihak, yakni korban dan pelaku. Jalan ini dapat diambil apabila korban tidak/tidak mau melakukan aduan kepada pihak yang berwenang untuk melanjutkan ke ranah hukum. Namun, jalan ini tidak disarankan untuk dilakukan karena pelaku tidak akan mendapatkan efek jera atas perbuatannya dan dapat mengakibatkan pengulangan di kemudian hari.
- Jalan hukum. Karena pelecehan seksual termasuk delik aduan. Maka kasus ini hanya dapat ditindaklanjuti jika pihak korban melakukan pengaduan kepada pihak yang berwajib. Pengaduan juga harus disertai dengan bukti yang terverifikasi/jelas. Aduan ini dapat disampaikan kepada Organisasi Profesi pelaku (PERFI), Kepolisian, dan/atau KOMNAS Perlindungan Perempuan.
Lalu peraturan apa saja yang menjerat pelaku dalam kasus ini?
Atas perbuatannya, pelaku dapat dijerat UU ITE Pasal 45 ayat (1), Pasal 2 Kode Etik Fisioterapi Indonesia, Pasal 6 Pedoman Penegakan Kode Etik Fisioterapi Indonesia, dan Pasal 29 UU No. 39/1999 Tentang HAM. Merujuk pada UU ITE Pasal 45 ayat (1), pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana 6 tahun penjara dan/atau denda sebesar 1 milyar rupiah. Dan jika merujuk kepada Kode Etik Fisioterapi Indonesia yang dikeluarkan oleh PERFI, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku akan ditetapkan oleh MDKEF (Majelis Disiplin dan Kode Etik Fisioterapi). Namun, jika pelaku memiliki masalah kejiwaan, berdasarkan KUHP Pasal 44, pelaku tidak dapat dikenai pidana.
Lalu bagaimana dengan perbuatan korban yang mempublikasikan identitas pelaku tanpa persetujuan dari yang bersangkutan melalui media sosial?
Apakah hal tersebut bisa dikatakan menyalahi UU ITE?
Perilaku korban tersebut bisa masuk ke dalam penyebaran identitas pribadi tanpa persetujuan orang yang bersangkutan (Pasal 26 UU ITE) serta bisa masuk ke dalam pencemaran nama baik organisasi profesi (Pasal 27 & Pasal 45 ayat (3) UU ITE) karena ia mempublikasikan profesi pelaku. Permasalahan ini juga dapat ditindaklanjuti apabila pihak/organisasi yang dirugikan melakukan aduan kepada pihak yang berwajib dengan menyertakan bukti yang terverifikasi.
Nah, dari kasus tersebut kita bisa belajar bahwa jangan pernah menggunakan media sosial secara semena-mena. Gunakanlah kecanggihan yang ada saat ini dengan baik dan bijak serta ada baiknya jika melalui kecanggihan tersebut kita dapat membantu orang lain dengan menyebarkan informasi-informasi yang bermanfaat.