HIDUP MAHASISWA!
Menurut PMK No. 65 Tahun 2015, fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis, dan mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi. sedangkan fisioterapis adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan fisioterapi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Dalam melakukan pelayanannya, tak ayal fisioterapis akan bekerja sama dengan profesi kesehatan yang lain, terutama jika pelayanannya dilakukan di klinik atau rumah sakit yang terdapat multi profesi kesehatan di dalamnya. Kerja sama ini terbentuk semata-mata hanya demi mencapai tujuan yang sama yakni kesembuhan dan pelayanan yang baik kepada pasien.
Salah satu profesi yang sering menjadi rekan kerja sama para fisioterapis adalah Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR).
Salah satu peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut adalah Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa pasien yang membutuhkan layanan fisioterapi harus melalui Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR). Peraturan ini memang memiliki tujuan yang baik mengenai regulasi kerja di antara keduanya. Sayangnya tidak semua rumah sakit khususnya daerah mempunyai dokter Sp.KFR sehingga pelayanan fisioterapi di rumah sakit tersebut terpaksa harus dihentikan karena layanan fisioterapi tidak dapat diklaim oleh BPJS.
Padahal jika kita menilik peraturan pelayanan fisioterapi pada PMK No. 80 Tahun 2013, fisioterapi berhak dan dapat langsung memberikan pelayanan tanpa adanya rujukan. Namun karena kurang kuatnya peraturan yang dapat digunakan sebagai landasan keprofesian, membuat PMK No. 80 Tahun 2013 tersebut hanya dapat diterapkan dengan baik dalam lingkup praktik
mandiri yang di dalamnya tidak terdapat multiprofesi.
Selain itu, secara umum, pelayanan fisioterapi di rumah sakit ataupun klinik juga harus berada di bawah pengawasan dokter. Jadi, bisa dikatakan bahwa dokter berperan sebagai supervisi dalam lingkup rumah sakit ataupun klinik yang didalamnya terdapat multiprofesi kesehatan. Lalu siapa saja yang berada dalam pengawasan tersebut? Jawabannya adalah para tenaga kesehatan selain tenaga medis, termasuk fisioterapis, baik pemula maupun senior. Adapun beberapa peraturan rujukan dari pelaksanaan ini, diantaranya :
▪ Pasal 9 ayat 1 PMK No. 9 Tahun 2014 tentang Klinik yang berbunyi “Penanggung jawab teknis Klinik harus seorang tenaga medis”.
▪ Pasal 34 ayat 1 UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (RS) yang berbunyi “Kepala RS harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan”.
Lalu siapa saja yang dimaksud dengan ‘Tenaga Medis’?
Menurut UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 11 ayat 2, yang dimaksud dengan tenaga medis adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Jadi, merekalah yang berhak menjadi penanggung jawab RS ataupun Klinik berdasarkan kedua aturan rujukan di atas.
Selain beberapa permasalahan mengenai regulasi yang telah dipaparkan di atas, adapun permasalahan lain yang saat ini masih banyak ditemukan di lapangan. Permasalahan tersebut adalah adanya pelayanan fisioterapi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain (non-fisioterapis) dalam praktik klinik. Jika dilihat lebih jauh, praktik tersebut sebenarnya menyalahi hak para fisioterapis dalam memberikan pelayanannya. Namun, sekali lagi kita kalah dalam hal regulasi dan peraturan sebagai landasan profesi. Dengan adanya PMK No. 80 Tahun 2013 dan PMK No. 65 Tahun 2015 yang digunakan sebagai landasan profesi fisioterapi saat ini, masih kurang kuat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi karena dalam peraturan tersebut tidak memaparkan secara jelas bahwa tindakan fisioterapi hanya boleh dilakukan oleh fisioterapis. Jadi, jika ada tenaga kesehatan non-fisioterapis yang melakukan tindakan fisioterapi maka mereka hanya akan mendapatkan sanksi etik berupa teguran. Sedangkan jika tindakan tersebut dilakukan non-tenaga kesehatan, maka mereka akan mendapatkan sanksi berupa pidana 5 tahun dengan berdasarkan pada Pasal 83 UU tentang Tenaga Kesehatan. Jika dibandingkan dengan peraturan landasan profesi yang dimiliki oleh kedokteran, maka peraturan ini masih kalah jauh.
Melihat dari permasalahan yang dihadapi oleh profesi kita saat ini, alasan mendasar yang membuat profesi kita masih tertinggal dari profesi kesehatan lain salah satunya adalah mengenai peraturan dan regulasi sebagai landasan profesi. Nah, kunci dari masalah ini berada pada Organisasi Profesi. Organisasi Profesi lah yang berhak dan berkewajiban untuk membentuk undang-undang praktik fisioterapi yang lebih maju agar landasan profesi kita menjadi lebih kuat dan pelayanan fisioterapi bisa menjadi lebih baik lagi serta tidak diambil alih oleh profesi yang lain. Sehingga harapan kami kedepannya adalah semoga peraturan landasan profesi kita dapat
diperbaharui menjadi lebih baik dan lebih kuat lagi.