KEMUDAHAN ASESIBILITAS LAYANAN FISIOTERAPI, KUNCI NYATA PERWUJUDAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN YANG EFISIEN DI INDONESIA (JUARA 1 LOMBA ARTIKEL KASTRAD 2023)

Ni Made Andini Putri Suarta (2302541005)

Program Studi Sarjana Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Menilik kutipan dari seorang motivator asal Amerika, Denis Waitley, bahwa memang faktanya waktu dan kesehatan adalah dua aset yang sering dikesampingkan oleh manusia. Dalam mewujudkan kesehatan dalam masyarakat, terdapat satu hal yang menjadi faktor pendukungnya, yaitu fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan atau sering disebut dengan faskes adalah komponen yang paling berpengaruh bagi keberhasilan pelayanan kesehatan. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan sosial yang difasilitasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. JKN memfasilitasi regulator, peserta, pemberi pelayanan kesehatan, dan badan penyelenggara yang terpusat untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama, dan dapat dilanjutkan ke pelayanan kesehatan tingkat kedua jika diberikan surat rujukan dari tingkat pertama.

Akses layanan fisioterapi juga difasilitasi oleh BPJS dengan mengikuti prosedur yang berjenjang pula. Hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Nomor 05 Tahun 2018. Jika pasien rawat jalan, pasien melakukan pendaftaran ke poli spesialis yang mendasari penyakitnya. Kemudian Dokter Sp. KFR melakukan pemeriksaan dan asesmen kepada pasien. Selanjutnya Dokter Sp. KFR menyusun program rehabilitasi medik. Setelah melewati prosedur tersebut, pasien melakukan terapi rehabilitasi medik sesuai program fisioterapi.

Fasilitas fisioterapi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya dapat dikatakan kurang dimanfaatkan secara efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang mengalami gangguan gerak yang berpengaruh pada penurunan produktivitas, tetapi menunda untuk datang ke fisioterapis. Banyaknya pemikiran bahwa sakit yang dialami hanya karena faktor kelelahan karena pekerjaan, cedera yang dialami atlet bisa pulih dengan sendirinya, kesemutan pada tangan hanya sekadar kesemutan biasa, dan masih banyak lagi kasus lain yang dianggap sepele pula. Padahal setiap tubuh manusia memiliki kemampuan memulihkan cedera yang berbeda yang dipengaruhi oleh faktor usia. Dalam usia pertumbuhan, sel-sel masih bisa bekerja aktif, sehingga proses perbaikan jaringan yang rusak lebih cepat pulih. Namun jika sudah melewati usia pertumbuhan, perbaikan jaringan harus melalui proses yang panjang sehingga membutuhkan bantuan tenaga medis. Kasus-kasus seperti itu banyak dijumpai oleh fisioterapis. Bahkan tak jarang, ketika mengalami dislokasi, pasien lebih memilih ke pengobatan alternatif (tukang urut) yang sebenarnya tidak memiliki jaminan ataupun perlindungan pelayanan kesehatan.

Analisis alasan masyarakat lebih memilih pengobatan alternatif dengan tukang urut dibandingkan dengan fisioterapis disebabkan karena akses pelayanan fisioterapi yang ditanggung oleh BPJS harus melalui tahapan panjang yang diawali dari faskes pertama, dilanjutkan ke dokter spesialis, dokter rehabilitasi medik, lalu fisioterapi. Hal tersebut tentunya sangat merugikan masyarakat yang seharusnya mendapati penanganan fisioterapis dengan segera. “Saya sangat merasa dirugikan. Karena sesuai prosedur BPJS untuk pelaksanaan fisioterapi harus dirujuk dari Puskesmas, kemudian ke dokter di rumah sakit, lalu dirujuk ke dokter rehabilitasi medik. Dokter rehabilitasi medik yang akan menentukan berapa kali akan melakukan fisioterapi, setelah itu secara teknis akan dilakukan oleh fisioterapis. Salah satu yang menyulitkan saya sebagai pasien adalah mekanisme yang berbelit. Kenapa harus melalui tiga dokter, kenapa tidak dipangkas saja agar dari Puskesmas bisa langsung dirujuk ke fisioterapis.”, ungkap Stien Schouten sebagai pasien penyintas kanker.

Selain akses layanan fisioterapi yang harus melalui tahap panjang, layanan fisioterapi juga dibatasi oleh BPJS. Maksimal melakukan fisioterapi adalah dua kali dalam kurun waktu seminggu. Padahal masing-masing penyakit dan pasien yang direhabilitasi memiliki kebutuhan dan intensifitas pelayanan yang berbeda, misalnya pasien stroke yang membutuhkan tindakan fisiologis secara intensif. Menurut pernyataan Nopi Hidayat selaku Humas BPJS bahwa “Layanan kesehatan diatur berdasarkan kemampuan BPJS untuk membiayai atas penjaminan pelayanan fisioterapi.”

Sesuai dengan visi BPJS Kesehatan, memberikan layanan terbaik kepada masyarakat, sudah seharusnya BPJS memberikan akses kemudahan. Sebagai negara yang berlandaskan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dan Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya. Berdasarkan pernyataan di atas bahwa pembatasan jumlah pelayanan fisioterapi dan rujukan berbelit-belit perlu dibenahi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemangkasan jumlah rujukan ketika hendak ke Fisioterapis, sehingga efisiensi biaya dari masing-masing pasien juga dapat terkontrol dengan baik. Perlu metode membenahi dan maksimalisasi pelayanan fisioterapi. Melalui program “Kemas Fisioterapi BPJS” dapat dilakukan dengan kurangi rujukan yang panjang dan berbelit, efisiensikan pembiayaan secara benar, maksimalkan fasilitas dan pelayanan, adaptif serta peduli terhadap kondisi masyarakat, dan selalu komunikatif dengan pasien. Dengan adanya program “Kemas Fisioterapi BPJS”, terfokus agar dapat memaksimalisasi akses layanan fisioterapi. Program ini fokus untuk membenahi sistem BPJS Kesehatan, yang juga bertujuan untuk selalu mengontrol fisioterapi, guna wujudkan Indonesia yang sejahtera melalui postur tubuh yang baik. Maka dari itu, sebagai tenaga kesehatan dan tenaga medis yang profesional, mari tumbuhkan kesadaran, bersama-sama berkontribusi untuk mewujudkan standar pelayanan kesehatan yang efisien, dan wujudkan Indonesia yang sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

“BPJS Kesehatan Berbelit-Belit dan Batasi Frekuensi Pasien Fisioterapi”,2018, SINDOnews, dilihat 15 September 2023, https://youtu.be/lcQX74kIh9c?si=WqSt8J6p2cAa7iNf

“INews BPJS dan Fisioterapi Indonesia”, 2018, Ibu Fisio, dilihat 15 September 2023, https://youtu.be/FpIMD1dW_jA?si=aH9B5Dexkg89UvSr

‘Ahli: Negara Bertanggung Jawab Wujudkan Jaminan Kesehatan Masyarakat’, 2018, mkri.id, dilihat 15 September 2023, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=14951

‘Komisi IX Berusaha Luruskan Permasalahan IFI atas Perdir BPJS Kesehatan’, 2018, dpr.go.id, dilihat 15 September 2023, https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/22482/t/javascript

‘PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL ‘, 2014, No. 874, dilihat 15 September 2023, https://www.kemhan.go.id/itjen/wpcontent/uploads/2017/03/bn874-2014.pdf

Suryan, 2021, ‘Misi dan Visi BPJS’, pemdessidomulyo, dilihat 15 September 2023, https://sidomulyo.kec- adimulyo.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/141/275

Media Sosial IMFI Wilayah III

Youtube : https://youtube.com/@imfiwilayah3899?si=K98ZDqB8YB0yjGWN

Instagram : https://instagram.com/imfi.wilayah3?igshid=MzMyNGUyNmU2YQ==

Facebook : https://www.facebook.com/profile.php?id=100014562847470&mibextid=ZbWKwL

X : https://x.com/wilayah3imfi?t=4x_FttKHRxxjBRFtxyYCKw&s=09

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *