PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS SPINAL CORD INJURY (SCI)

Penatalaksanaan Fisioterapi pada kasus
Spinal Cord Injury (SCI)
Dhiya Agisna Yusti (Universitas Al-Irsyad Cilacap)

(sumber: https://health.kompas.com)

I. PENDAHULUAN
Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung kemih sementara atau permanen. SCI adalah keadaan yang diakibatkan oleh trauma ataupun non traumatik yang menyebabkan adanya keterbatasan dalam perawatan diri, bergerak dan beraktivitas sehari-hari.
ASIA (American Spinal Injury Association) dan IMSOP (International Medical Society of Paraplegia) pada tahun 1990 dan 1991 mengklasifikasikan berdasarkan derajat kerusakan spinal cord injury menjadi 5 tingkat yaitu:

  1. Tingkat A tipe komplit dengan gangguan pada medula spinalis berupa tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5.
  2. Tingkat B tipe inkomplit dengan gangguan medula spinalis berupa fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen sakral S4-S5.
  3. Tingkat C tipe Inkomplit dengan gangguan medula spinalis berupa fungsi motorik terganggu dibawah level tetapi otot-otot motorik utama masih mempunyai kekuatan lebih kecil dari 3.
  4. Tingkat D tipe inkomplit dengan gangguan medula spinalis berupa fungsi motorik terganggu dibawah level, kekuatan otot-otot motorik utama lebih besar dari 3.
  5. Tingkat E tipe normal yang mana tidak ditemukannya gangguan fungsi motorik ataupun sensorik pada medula spinalis.

II. PEMBAHASAN
A. Patologi dan Gambaran Klinis

(sumber: https://www.alomedika.com)

Pada kebanyakan kasus, patofisiologi cedera spinal atau spinal cord injury melibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan tindak kekerasan. Hal ini kemudian mempengaruhi akson dari saraf spinal dan menyebabkan perubahan temporer atau permanen dari fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Hal ini menyebabkan cidera. Ada 2 macam cidera yang terjadi pada spinal cord injury yaitu:

  1. Cedera Primer
    Patofisiologi spinal cord injury primer terjadi karena adanya trauma mendadak pada spinal sehingga menyebabkan fraktur atau dislokasi pada vertebra. Cedera dapat berupa tergeser nya fragmen tulang, komponen diskus, atau kerusakan ligament ke dalam jaringan korda spinal.
    Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa:
    a. Kompresi
    b. Distraksi
    c. Laserasi
    d. Transeksi
    Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah ataupun membran sel. Pada banyak kasus, cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi untuk mengalami regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula yang berkontribusi terhadap kejadian iskemia pada medula spinalis. Mekanisme ini menyerupai patofisiologi molekuler pada cedera otak traumatik.
  2. Cedera Sekunder
    Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera sekunder dibagi menjadi tiga fase yaitu:
    a. Fase Akut
    Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan vaskularisasi, perdarahan dan iskemia terjadi dalam fase ini. Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan perubahan patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal bebas, dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.
    b. Fase Subakut/Intermediate
    Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah cedera. Karakteristik dari fase ini adalah respons fagositosis untuk membersihkan debris seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang membentuk parut yang mencegah regenerasi aksonal. Meskipun begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam homeostasis ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga membatasi imunitas sel dan edema.Minggu kedua hingga bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi parut astrositik dan regenerasi aksonal yang berkelanjutan.
    c. Fase Kronik
    Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan stabilisasi parut astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi akson di bagian distal cedera. Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.

Gejala umum dari spinal cord injury adalah gangguan motorik dan sensorik yang ditandai dengan mati rasa dan penurunan fungsi otot. Berdasarkan tingkat keparahannya, gejala spinal cord injury terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

  1. Lokal atau tidak menyeluruh (incomplete), ditandai dengan melemahnya kemampuan motorik dan sensorik tubuh.
  2. Menyeluruh (complete), ditandai dengan hilangnya seluruh kemampuan motorik dan sensorik yang membuat penderitanya lumpuh dan tidak dapat bergerak sama sekali.

Kelumpuhan yang dialami oleh penderita spinal cord injury dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:

  1. Tetraplegia, yaitu kelumpuhan yang memengaruhi lengan, tangan, kaki, dada, dan perut.
  2. Paraplegia, yaitu kelumpuhan yang memengaruhi anggota gerak bagian bawah dan panggul.

B. Diagnosis
Diagnosis spinal cord injury atau cedera spinal perlu dicurigai pada pasien dengan defisit neurologi, terutama setelah kejadian trauma seperti kecelakaan lalu lintas, perkelahian, atau terjatuh. Presentasi klinis spinal cord injury bervariasi tergantung pada tingkat cedera dan elemen saraf spesifik yang terpengaruh. Perlu diketahui bahwa 55% spinal cord injury terjadi di level servikal. Pasien dapat hadir dengan berbagai gejala termasuk nyeri, defisit sensorik dan motorik, atau disfungsi otonom.

  1. Anamnesis
    Seringkali pasien spinal cord injury datang dengan kondisi penurunan kesadaran atau tidak kooperatif untuk diajak berbicara. Pada kasus seperti ini, alloanamnesis diperlukan. Beberapa hal yang ditanyakan saat melakukan anamnesis pada cedera spinal meliputi:
    a. Mekanisme cedera: kecepatan berkendara, tipe kendaraan bermotor, kelengkapan berkendara.
    b. Keluhan neurologi: nyeri tulang belakang, kelemahan tangan atau kaki, perubahan atau hilangnya sensasi pada tangan dan kaki, priapismus, keluhan buang air kecil seperti inkontinensia atau retensi urine, keluhan buang air besar, bingung atau tidak kooperatif
    c. Riwayat trauma: riwayat penggunaan alkohol atau di bawah pengaruh obat-obatan, riwayat trauma sebelumnya
    d. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat masalah tulang belakang, riwayat operasi tulang belakang sebelumnya atau kondisi yang menjadi predisposisi instabilitas tulang belakang lainnya seperti osteoporosis
  2. Pemeriksaan Fisik
    Pemeriksaan fisik pada cedera spinal dapat diawali dengan survey primer (primary survey) yang mencakup penilaian jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation). Apabila pasien stabil, lakukan penilaian kesadaran secara kuantitatif menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Selanjutnya dilakukan identifikasi pada tulang belakang meliputi nyeri, edema, jejas, serta posisi tulang belakang. Pemeriksaan neurologi dapat membantu memperkirakan lokasi level kelainan.
  3. Pemeriksaan Sensorik
    Pemeriksaan sensorik yang dilakukan berupa sentuhan ringan (light touch) dan pinprick test. Dilakukan pada semua ekstremitas pada sisi kiri dan kanan tubuh jika pasien dalam keadaan sadar.
  4. Pemeriksaan Motorik
    Pemeriksaan motorik meliputi pemeriksaan kekuatan otot pada ekstremitas dengan skala:
    0: Tidak ada kontraksi atau gerakan
    1: Gerakan minimal
    2: Gerakan aktif, tidak mampu melawan gravitasi
    3: Gerakan aktif, melawan gravitasi
    4: Gerakan aktif, melawan tahanan
    5: Gerakan aktif, melawan tahanan penuh
    Kekuatan motorik dinilai dari kekuatan maksimum yang dicapai tanpa melihat seberapa lama kekuatan tersebut dapat dipertahankan.
  5. Pemeriksaan Rektal (Sacral Sparing)
    Pemeriksaan rektal dilakukan untuk menilai fungsi motorik dan sensorik pada anal mucocutaneous junction melalui berbagai pemeriksaan sebagai berikut:
    a. Sensasi perianal terhadap sentuhan ringan (light touch)
    b. Pinprick test
    c. Refleks bulbokavernosus (S3 atau S4)
    d. Anal wink (S5)
    e. Rectal tone
    f. Retensi atau inkontinensia urine

C. Program Latihan dan Rehabilitasi Terapi
Dalam kasus Spinal cord injury dapat menimbulkan problematika fisioterapi yang dapat berupa nyeri serta spasme pada area punggung, penurunan lingkup gerak sendi tungkai bawah, penurunan kekuatan otot- otot pernafasan karena tirah baring lama, penurunan kekuatan otot anggota gerak atas, gangguan integritas kulit atau dekubitus karena tirah baring lama dan gangguan dalam melakukan ADL.
Adapun beberapa pengobatan yang dapat diberikan pada pasien dengan Spinal Cord Injury, yaitu:
1. Breathing Exercise

(sumber: https://lloydspharmacy.com/blogs)

Latihan pernapasan yang dilakukan adalah dengan teknik deep breathing dan chest expantion secara aktif. Tujuan dari latihan pernapasan ini antara lain: menambah atau meningkatkan ekspansi thorak, memelihara ventilasi, mempertahankan kapasitas vital, mencegah komplikasi paru dan relaksasi. Pada teknik deep breathing, pasien diminta melakukan inspirasi dan ekspirasi secara maksimal dengan kombinasi gerakan- gerakan pada lengan secara bilateral sedangkan pada teknik chest expantion dilakukan seperti latihan pernapasan biasa dengan diberi tahanan manual. Intervensi ini dapat dilakukan 3-4 kali dalam sehari.

  1. Positioning

(sumber: https://carertrainingkit.blogspot.com)

Perubahan posisi sangat penting pada penderita spinal cord injury. Perubahan posisi ini bertujuan untuk mencegah decubitus dna mencegah komplikasi paru. Intervensi ini dapat dilakukan setiap hari dnegan perubahan posisi setaip 2-3 jam sekali.

3. ROM Exercise

(sumber: https://www.researchgate.net)
ROM exercise yaitu latihan dengan cara menggerakan suatu segmen pada tubuh. ROM exercise sendiri dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu Active ROM Exercise yang mana pasien menggerakan segmen tubuhnya sendiri tanpa bantuan terapis, Passive ROM exercise yang mana pasien menggerakkan segmen tubuhnya dengan bantuan dari luar yaitu terapis, dan Active Assisted ROM Exercise yang mana pasien menggerakan tubuhnya sendiri dan juga dengan bantuan dari terapis atau bagian tubuh lainnya.

4. Functional Electrical Stimulation

(sumber: https://walkitoffrecovery.org)

FES diberikan dengan tujuan untuk mengaktifkan otot dan saraf-saraf tertentu. Impuls yang diberikan akan memicu fungsi yang diinginkan seperti mengencangkan otot untuk menggerakkan kaki atau mengangkat lengan. FES juga digunakan untuk memblokir sinyal nyeri dan memulihkan atau meningkatkan fungsi tubuh seperti kontrol bladder

III. PENUTUP
Spinal Cord Injury adalah suatu kondisi yang terjadi karena adanya kerusakan pada spinal cord yang memblokir komunikasi antara otak dengan tubuh. ASIA (American Spinal Injury Association) dan IMSOP (International Medical Society of Paraplegia) pada tahun 1990 dan 1991 mengklasifikasikan berdasarkan derajat kerusakan spinal cord injury menjadi 5 tingkat
Peran fisioterapi dalam kasus Spinal Cord Injury disesuaikan dengan problematika fisioterapi yang diakibatkan oleh kasus tersebut. Dalam hal ini problematika fisioterapi berupa nyeri serta spasme pada area punggung, penurunan lingkup gerak sendi tungkai bawah, penurunan kekuatan otot- otot pernafasan karena tirah baring lama, penurunan kekuatan otot anggota gerak atas, gangguan integritas kulit atau dekubitus karena tirah baring lama, gangguan dalam melakukan ADL.
Penanganan Fisioterapi yang dapat diberikan pada kasus ini meliputi breathing exercise, positioning, ROM exercise dan Functional Electrical Stimulation.

IV. REFERENSI
Alifah, d. U. (t.thn.). Alomedika. Diambil kembali dari Alomedika.com: https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/spinal-cord-injury
Dinata1, I. G. (2021). The Overview of Spinal Cord Injury. Ganesha Medicina Journa, 113.
Maja, J. P. (2013). DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN CEDERA SERVIKAL MEDULA SPINALIS. Jurnal Biomedik, Vol. 5 No. 03(https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/biomedik/issue/view/645).
Martiana, I. K. (2019). TRAUMATIC CERVICAL SPINAL CORD INJURY. IS URGENT INTERVENTION. Artikel Penelitian, Vol 8 No. 1, 1-7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *